Aku benci hidupku.

Jangan tanya kenapa, karena bukankah setiap alasan yang jika kuutarakan, tetap akan menjadi angin lalu saja? Karena menjadi manusia yang terlahir di bumi yang sama, ternyata tidak menempatkan tiap-tiap jiwa pada kapasitas yang sama pula. Aneka kemudahan, kesulitan, perasaan, lingkungan, keluarga, asmara atau apapun rajutan perjalanan manusia yang membuat bumi menampung ragam cerita. Itu kenapa, untuk beberapa luka, memang lebih baik disimpan pada tumpukan masalah yang berlalu-lalang seperti lalu lintas yang tidak mengenal istirahat. Atau cukup disembunyikan dalam tangisan yang diredam dengan bantal juga selimut kala orang rumah sudah terlelap.

Aku benci diriku.

Miris bukan? Ketika hidup yang harusnya tertolong dengan keyakinan pada satu-satunya nyawa yang selalu ada, lantak dimatikan dengan hukuman tidak boleh menyerah. Menjadi manusia, menyerahnya adalah bertahan. Tangisnya adalah senyuman. Rautnya adalah topeng perasaan. Ucapannya adalah kegetiran. Juga langkahnya adalah hela kepasrahan. 

Bayangkan, betapa penuh kejutan untuk menjadi seorang manusia. Setidakberdaya raga itu, sehampa jiwa itu dipaksa menjelma penumpang pada perjalanan yang tak pernah ditawarkan. Hidup di dunia tanpa diberi pilihan terlebih dulu; mau atau tidak, karena tangis yang ditunggu Ayah Ibu di ruang persalinan, justru adalah permulaan dari ragam pertanyaan yang tidak ada habisnya.

Menjadi manusia adalah perjalanan tanpa ada halte pemberhentian, karena mau tidak mau harus terus melanjutkan. Menjadi manusia adalah perjalanan yang sudah jelas berujung, tanpa bisa mempercepat atau memperlambat putaran roda. Menjadi manusia adalah perjalanan bus dengan kaca jendela buram, tak bisa menerka sudah sampai tujuan atau sudah terlewat, karena yang bisa dilalui hanyalah dengan menjalaninya saja. 

Jika manusia di bumi sudah lekat dengan keramaian, aku pun begitu. Karenanya, aku gencar mencari kesepian. Hingga kutemukan sebuah tempat yang jelas sekali menjamin riuh dipikiranku untuk menjemput tenang, walau sebenarnya tidak pernah ada pikiran yang benar-benar tenang. Ya, sudah jadi rahasia umum jika pikiran manusia mudah sekali menerima hal-hal di luar kendali, yang padahal tidak perlu dipikirkan sebegitunya. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin itu kenapa, tenang menjadi cita-cita paling didamba manusia, sekaligus yang paling sukar diajak berlama-lama.

Ngomong-ngomong… Aku suka pemakaman.

Iya, kuburan. Gundukan tanah tempat beristirahatnya jiwa-jiwa manusia yang tidak lagi bernyawa. Galian berisikan ruang penantian hati yang merindu atau mungkin frustasi. Sebuah tempat yang lekat dengan perasaan bergidik ngeri. Jajaran nisan-nisan dengan ragamnya nama dan cerita. Kepulangan yang sebenar-benarnya. Kepastian yang sudah menunggu kita semua.

“Terima kasih, Bu,” ucapku setelah menerima sebungkus bunga tabur sebagai buah tangan untuk bertamu pada teka-teki dan doa baru. 

“Sering sekali kelihatan, Mbak?” tanya Ibu penjual yang memang sudah tak asing melihatku. Kini sudah masuk bulan ketiga aku rutin membeli bunga tabur padanya, namun entah mengapa baru sekarang beliau bertanya. Mungkin beliau mengira kalau aku sudah kuat untuk menerima pertanyaan seperti itu. Padahal ya… tidak begitu.

Aku mengangguk, “Iya, Bu. Tiga kali seminggu.”

Sambil mencari uang kembalian, lantas sang Ibu bertanya lagi, kini sedikit berhati-hati, “Ziarah orang tua, Mbak?”

Aku tersenyum tipis, menggeleng. “Bukan siapa-siapa, Bu.” Jemariku menerima selembar uang sepuluh ribuan dan pamit pergi.

Iya. Memang bukan siapa-siapa. Orang tuaku masih ada di rumah. Masih lengkap dengan dua adikku. Jadi, langkah yang kubawa masuk ke dalam pemakaman adalah langkah yang bebas. Dan sejak menyenangi pemakaman, terhitung sudah sekitar 20 nisan kutaburi bunga. Sudah tak terhitung pertanyaan yang kuutarakan lewat menjelajahi nama, tanggal kematian, juga keringnya tanah dan lebatnya ilalang di sekitaran.

Tak banyak orang yang datang ke pemakaman. Lagian siapa juga yang kepikiran menjadikan tempat sepi ini sebagai ruang untuk menghabiskan waktu? Paling-paling akan ramai hanya ketika hendak bulan puasa, lebaran, atau ketika toa Masjid mengumumkan kabar duka saja. Selain itu? Ya hanya aku. Cuma ak… Eh, sebentar. Mungkin ada pengecualian.

Laki-laki itu lagi. Apakah itu makam orang tuanya? Atau sanak saudaranya? Atau bukan siapa-siapanya? Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin ada yang sepemikiran denganku.

Langkahku melewatinya. Membiarkan riuh di pikirannya untuk ikut tertimbun masuk ke dalam tanah yang sudah lekat dalam pandangannya. Dengan kemeja hitam, celana hitam, juga kacamata hitam, ia sudah terduduk dan termenung. Dengan penampilannya itu, berarti ia memang benar-benar sedang berziarah. Tidak sepertiku yang datang ke tempat ini tanpa persiapan apapun selain hati yang merindu tenang.

Angin sore menerbangkan dedaunan kering di sekitarku. Aku terduduk di hadapan sebuah makam berukuran kecil. Iya, makam bayi. Terlihat dari tanggal lahir dan wafat yang hanya berselang 3 bulan saja. Apa yang Adik itu utarakan pada Tuhan sehingga ia dijemput lebih cepat? Apakah Tuhan terlalu sayang padanya? Apakah ia begitu beruntung karena Tuhan tidak rela nyawa kecil itu dikotori dengan hiruk-pikuk dunia yang tidak mengenal usia? Atau karena ia terlalu belia untuk ditimpa beragam pertanyaan yang bahkan sampai tua saja tak kunjung terjawab?

Tapi bagaimana orang tuanya? Bagaimana orang-orang yang ditinggalkan? Atau mungkin, kini ia tengah menertawakanku? Seonggok jiwa yang mendamba pulang yang membenci hidup. Atau malah ia sedang merindu bumi yang penuh hingar-bingar ini? 

Ah, harusnya aku tenang sekarang, tapi kenapa mendadak timbul banyak pertanyaan yang memburuku? Padahal jawabannya sudah ikut terkubur oleh pemilik jasad. Tidak mungkin kudapat.

Tapi anehnya, aku menikmati ragam pertanyaan ini. Aku bersedia menerima banyak teka-teki, yang penting bukan tentangku. Aku penasaran dengan kehidupan lain selain hidupku. Pertanyaan-pertanyaan yang kuciptakan di sini adalah penolong tanpa bayaran. Hanya butuh sebungkus bunga tabur untuk akhirnya aku menerima pikiran riuh yang bukan tentangku. Aku benci diriku dan hidupku, karena itu aku perlu pikiran yang tidak ada aku di sana.

“Gagal jantung.” Suara seseorang menarikku untuk keluar dari pikiranku sendiri. Ternyata matahari sedang indah-indahnya dan lelaki itu sudah berdiri di hadapanku. Ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung, “Adik ini cuma bertahan 3 bulan, karena gagal jantung.” Kemudian jemarinya menunjuk nisan yang lain, “Kalau Ibu ini, tidak sakit. Memang sudah ajalnya saja. Nah, yang itu remaja. Wafat karena jatuh dari arena permainan. Kalau di sebelahnya, kakek usia hampir 90 tahun. Lihat tanggal wafatnya, sehari sebelum beliau berulang tahun.” 

Aku terdiam. Mengamatinya. Siapa dia? Mengapa pemakaman ini seolah berubah bentuk menjadi silsilah keluarganya? Mengapa bisa ia mengenali seluruh sejarah ini?

Hingga kemudian jemarinya berlanjut ke makam-makam selanjutnya, juga hari-hari seterusnya. Kami berkenalan lewat cerita-cerita manusia yang sudah lebih dulu rehat. Kami melintas di antara nisan-nisan penuh kenangan. Kami menyelinap di tengah-tengah jutaan doa yang terbang di makan angin, yang berusaha mengetuk pintu langit untuk menuntut sebuah keikhlasan.

“Aku baru tahu kalau ada orang yang rumah keduanya di pemakaman,” kataku sambil menerima segelas air kelapa darinya. Ia ikut duduk setelah mengambil pesanan kami di gerobak jajaran pedagang kaki lima. Kami baru saja keluar dari berziarah. “Di mana-mana, pemakaman itu rumah terakhir paling pasti untuk tiap orang. Nah, kalau yang itu aku sudah tahu dari lama,” sambungku dengan ringan.

“Aku juga baru tahu kalau ada orang yang punya hobi jalan-jalan di kuburan,” balasnya yang tersenyum tipis. Bercanda.

“Bukan kuburan, tapi taman,” sahutku setelah meneguk air kelapa yang sedikit saja manisnya sesuai permintaanku. 

Dia mengangguk-angguk. Senyumnya masih bersisa. Aku baru menyadari betapa indahnya senyum itu setelah wujudnya tidak lagi terduduk di depan makam-makam itu. Di sana, ia redup. Kini di hadapanku, ia hidup.

“Taman kenangan?” tanyanya yang gantian membuatku mengangguk. “Mungkin itu kenapa, aku jadi nggak ingat pulang kalau sudah di pemakaman. Karena kenanganku sudah habis. Sudah duluan semuanya,” katanya lagi melanjutkan. Tak butuh waktu lama, obrolan ini sudah terasa hangat.

Dia sudah bercerita sedikit. Sedikit saja. Bahwa jajaran nisan yang sering ia datangi adalah makam orang tua dan kakaknya yang wafat dalam kurun waktu yang tidak berbeda. 

“Bagaimana perasaanmu setelah 3 bulan bertamasya di pemakaman?” tanyanya.

“Kamu…”

“Kamu pikir baru-baru saja aku sering bertamu ke pemakaman?” potongnya membalas keherananku. Lantas aku mengangguk. “Bertahun-tahun,” sambungnya yang membuatku kehilangan kata. Aku memang sering melihatnya. Setiap sore sejak hari pertamaku menyenangi ziarah. Namun aku tidak menyangka bahwa ternyata ada orang yang lebih aneh dariku. Dan yang lebih membuatku bertanya-tanya, apa dia selalu melihatku? Menyadari keberadaanku?

“Berarti kamu selalu tau jadwal kunjunganku?” Kutanyakan saja. Supaya jelas.

“Bahkan penjaga makam juga sering tanya tentangmu ke aku,” katanya santai. “Ya jelas siapapun akan keheranan ada perempuan pakai seragam kantor, tapi malah sering main ke kuburan.”

Aku setuju itu. Karena aku juga masih bertanya mengapa bisa perjalanan pulangku malah singgah di tumpukan-tumpukan tanah yang memayungi banyak kisah kehidupan.

“Jadi itu alasanmu memulai obrolan ini?” tanyaku lagi yang tentu butuh jawaban.

Tampak ia berpikir sebentar, kemudian memandangiku, “Karena aku tahu kesepian itu nggak enak. Aku tahu kamu butuh teman cerita. Atau mungkin aku yang butuh.”

Dalam detik ini, ada semilir rasa berwarna-warni hinggap di setitik hatiku. Tanpa kusadari, lengkung bibirku terbentuk tipis. Aku tersenyum.

Khawatir tak kuasa meredam rasa yang mendadak kehilangan kendali, aku lanjut bertanya. “Kamu kadang suka mempertanyakan ketentuan Tuhan, tidak?” tanyaku tiba-tiba saja. Tak bermaksud apapun. Namun aku tahu ia akan menanggapi pertanyaanku dengan baik.

“Ketentuan Tuhan ada banyak. Bahkan semua hal di dunia ini,” jawabnya santai. “Maksudmu ketentuan Tuhan tentang apa?”

Entah mengapa aku suka sekali bunyi suaranya. Terdengar lembut, namun juga pekat. Seperti sesuatu yang terlihat tak punya kuasa, padahal mudah saja membuat siapapun tenggelam. Seperti warna biru laut yang tenang, namun merayu untuk diselami. Atau biru langit yang bisu, namun memikat untuk didekap.

Aku berpikir sejenak, “Tentang waktu kematian kita yang tidak bisa dirubah, mungkin? Atau tentang banyaknya pertanyaan kita pada dunia, yang bukannya diberi jawaban, malah membuat kita membenci kehidupan.”

“Kamu benci hidup?” tanyanya.

Langsung saja kujawab, “Itu kenapa aku menyukai tempat ini.” 

Dia menatapku lekat. Menangkap makna tersirat dari kalimatku yang singkat. Selain suaranya, kini aku suka tatapannya. Netra hitam yang bulat dengan sempurna itu hanya diam, namun paham. Pantas saja selama ini ia menutupinya dengan kacamata hitam, karena jika tergerai cuma-cuma seperti ini, akan menjerat siapa saja yang menangkap pesonanya. Walau ada bekas luka di atas alisnya, namun matanya… tetap luar biasa.

“Kamu tidak benci bumi memangnya?” tanyaku meragu.

Dia langsung menggeleng. Beralih pada lalu lintas sore yang mendung, seolah memayungi percakapan ini untuk bertahan lebih lama.

“Hidup itu istimewa, Ras,” sambungnya teduh. Coba kamu cari, adakah kehidupan selain di bumi yang menyediakan kenangan? Yang menjawab pertanyaan dengan ragam pelajaran? Yang mendiamkan segala riuh dengan sabar? Yang menetralkan segala murka dengan ikhlas? Cuma di sini, Ras. Bahkan mungkin, akhirat pun tidak menyediakan itu. Kalau di sana, kita memeluk bahagia, tapi kalau di dunia, kita dapat jatah mencoba.”

Aku meneguk tenggorokanku. Bukan meneguk air kelapa, melainkan meneguk makna suaranya. Keindahan kalimat itu meliuk-liuk di pikiranku, mencipta sepetak ruang untuk terpenjara dalam ingatan.

“Jadi, selagi masih di sini, bisaku cuma mencoba. Mencoba merenungi, mencoba mencari hikmah yang selama ini digaungkan orang-orang tiap kita tertimpa ujian, atau mencoba untuk bertahan agar kenangan milikku lebih panjang untuk nanti bisa kuceritakan pada orang tua dan kakakku.”

Aku mengangguk-angguk, seraya memikirkan apa yang harus kusuarakan untuk menanggapi keahliannya merangkai kalimat indah? Hingga kupilih saja kalimat yang berlawan. “Tapi aku nggak punya kenangan baik sepertimu,” balasku berusaha tenang. “Itu kenapa aku lebih senang menjelajahi kenangan milik orang lain. Apapun itu adalah kenangan baik, selain bukan punyaku.”

Dia menenggak air kelapa miliknya yang sudah bersisa sedikit lagi.

“Aku benci hidupku. Benci apapun yang berkaitan denganku. Karena… kosong. Tidak ada apapun. Rumahku lengkap penghuninya, tapi sepi. Tak ada bunyi, tak ada suara, tak ada dialog. Semua sendiri.” Nada suaraku sedikit bergetar. Aku menahan lukanya.

“Berarti selama ini kamu bukan merindukan tenang, Ras.”

“Jadi apa?”

“Kamu rindu ramai.”

Klakson kendaraan mulai bersaut-sautan. Lalu lintas masih saja ramai. Malah semakin padat. Entah kapan juga akan sepi. Atau selamanya lalu lintas akan menjadi bukti bahwa bumi adalah senyata-nyatanya nyawa yang tak diberi makan, namun tetap melanjutkan. Desir angin tanda hujan akan segera turun menerpa kami berdua. Mungkin sebentar lagi, rintik itu akan ikut nimbrung meramaikan dua suara ini. 

“Gantian aku yang tanya,” katanya. “Kamu pernah bertanya nggak mengapa kehidupan bumi beragam? Mengapa dia punya ini, kamu tidak punya. Mengapa kamu diberi ini, sedangkan dia diberi yang lebih. Atau mengapa orang-orang terlihat mudah, padahal kamu sudah hampir menyerah?” 

Jika dia menjawab pertanyaanku langsung dengan gelengan, gantian aku yang menjawab pertanyaannya dengan langsung terdiam. Bukan karena bingung, namun karena hal itu yang sering kutanyakan. Bahkan setiap waktu, setiap mataku menyusuri sudut jalan.

“Kamu pernah bertanya tidak? Mengapa waktu pulang tiap manusia tidak bisa diatur ulang? Kenapa tidak saat siap saja?” Aku terlalu malu untuk menjawab pertanyaan darinya tadi, jadi biarkanlah. Biarkan kutimpa lagi dengan pertanyaan baru. 

“Pertanyaanmu sudah terjawab, Ras.”

Alisku bertaut. “Maksudnya?”

“Kamu bilang kalau pertanyaan-pertanyaan di bumi tidak pernah punya jawaban, padahal barusan kamu menjawabnya. Kamu menimpa pertanyaanku dengan pertanyaan yang baru. Begitupun Tuhan, Ras. Bukan Dia tidak punya jawaban, tapi karena Dia mau kita yang cari sendiri. Kita yang bertanya, kita juga yang berusaha cari jawabannya. Sampai akhirnya ketika kita sudah menemukan jawabannya, tanpa sadar kita pun mengerti bahwa perjalanan pencarian jawaban itulah yang membuat kita bertahan dan meneruskan hidup. Itu cara paling manis milik-Nya yang kupercaya untuk membuat kita tidak menyerah, Ras. Dan akhirnya itu pula yang menjawab pertanyaanmu, tentang mengapa kepulangan tiap manusia berbeda. Ya… karena jangka waktu setiap manusia menjemput jawaban juga tidak sama.”

Gemuruh ringan milik langit menyambut kata terakhir darinya. Bagai bertepuk tangan, ikut bangga. Karena ternyata, di bumi masih ada yang memiliki pandangan dengan begitu luas dan hangat. Aku sempat berpikir bahwa manusia hanyalah sisa-sisa dari ragam perasaan menyalahkan. Namun kebenarannya, hanya aku yang termasuk. Jelas dia tidak. Hatinya… lapang sekali.

“Kamu sudah hidup sendiri. Benar-benar tidak benci bumi?” tanyaku kesekian kali. Aku masih berusaha untuk kembali pada keyakinanku bahwa manusia mustahil bisa sepertinya.

Dia meletakkan gelas yang sudah kosong di kursi sebelahnya, karena jajanan kaki lima di samping gerobak hanya menyediakan kursi plastik saja.

“Mungkin sempat. Tapi capek juga ternyata.”

Aku setuju. Bahkan menjadi manusia, untuk membenci hidup saja melelahkan.

“Kamu tidak penasaran mengapa tanggal wafat di nisan keluargaku ada di tanggal yang sama? Dan kenapa pemakaman sudah bertahun-tahun menjadi rumah keduaku?”

“Kenapa?” balasku menyambut rasa penasaran. Sebenarnya, hal itu sudah ingin kutanyakan sejak percakapan di hari pertama terjadi, bahkan ketika melewatinya kala terduduk di depan makam keluarganya. Karena jelas saja aku menangkap tanggal wafat yang sama di nisan itu.

Jari telunjuknya mengarah ke bekas luka di atas alisnya. Segaris luka yang terlihat bekas jahitan. Kemudian ia menunjuk leher bagian bawah yang tertutupi kerah kemejanya. Di sana ada bekas luka yang hampir sama seperti di atas alisnya, namun lebih panjang dan lebih jelas.

“Kecelakaan bus umum,” katanya memulai bercerita. “Terjadi sewaktu aku ikut mengantarkan kedua orang tuaku pulang ke rumah nenek. Membicarakan perceraian mereka dengan keluarga. Aku yang memaksa untuk naik bus saja, yang di mana adalah usahaku untuk setidaknya kami punya perjalanan terakhir bareng-bareng.”

Mataku mengarah fokus padanya. Apa yang ingin ia sampaikan sebenarnya?

Dengan pelan, ia kembali melanjutkan, “Dan akhirnya, benar saja. Itu perjalanan terakhir kami. Usahaku terjawab. Aku punya satu jawaban. Kejutan berikutnya, hanya aku yang selamat di antara keluargaku. Kamu sudah menangkap benang merah yang akan menjadi jawaban selanjutnya, Ras?”

Aku menggeleng.

“Aku dipertahankan Tuhan untuk kembali melanjutkan dan menjaga kenangan keluargaku. Dan karena kecelakaan itu, orang tuaku tetap utuh, tetap jadi sepasang jodoh, bahkan sekarang ada dalam liang lahat yang sama. Aku dapat jawaban selanjutnya.” Dia tersenyum tipis. Menjadikan percakapan ini bermakna yang mungkin tanpa perlu kuusahakan, sudah tersimpan dalam memori. 

“Itu bukan kisah yang hebat, Ras. Bahkan harusnya tragis, kan? Tapi dari cerita itu aku akhirnya bertahan. Dan mungkin bukan cuma aku, tapi kamu dan manusia-manusia yang hidup hari ini, tanpa sadar sedang mendekat pada jawaban atas segala pertanyaan tentang kehidupan.” Dengan membenarkan posisi duduknya, ia kembali bersuara, “Yang buram, bukan berarti akan selamanya tidak jelas, Ras. Begitupun yang penuh tanda tanya, bukan berarti tidak punya jawaban.”

Aku membeku. Bagaimana bisa kisah ini mendadak mengirim banyak rasa padaku? Semilir angin yang cukup kencang menerpaku. Bagai kiriman Tuhan untuk membuatku bergetar atas titipan pelajaran yang Dia kirimkan lewat lelaki di hadapanku ini. Lelaki asing yang terasa dekat.

“Laras,” panggilnya. Kini dengan seluruh suku kata namaku. Tatapan kami kian lekat. Ada semburat pengertian sekaligus pelukan yang ia kirimkan lewat keteduhan matanya. Ia seolah masuk ke dalam kegundahan yang menjadi alasanku membenci hidup. Tatapan dalam darinya, bagai menawarkan pemahaman untuk mengajakku berdamai dengan hidupku.

“Bagaimana jika hidup yang kamu keluhkan, yang kamu benci tidak keruan, justru adalah bentuk pertolongan Tuhan?” Ia bertutur datar, dan aku terlanjur sadar.

Luar biasa. Kudapatkan jawaban lewat sebuah pertanyaan.

Hujan turun. Deras. Bahkan di pipiku.


Leave a comment

11 responses to “Buram Yang Jelas”

  1.  Avatar
    Anonymous

    Luar Biasa ✨🥰 Benar2 menyuguhkan pelajaran manis untuk tidak melulu meratapi hidup.. Thanks a lot Litha 🫶🏻 Ditunggu next storynya

    Like

  2.  Avatar
    Anonymous

    ya masa mas nya gak nyebutin nama sih? namamu siapa mas? kok sempurna amat loo??? emang misterius gitu ya beliau?

    Like

  3.  Avatar
    Anonymous

    mang ada cowo begitu di dunia nyata? mang adaaa?!?!?!? emang… ada…??? MAUUU SATUUUU

    Like

  4.  Avatar
    Anonymous

    Keren banget serasa ada didalam ceritanya. Terus Berkarya Taaa 🙂

    Like

  5. faanisa04 Avatar

    kerensih, cerita nya jdi buat kita bisa berpikir lebih positif sm takdir💞

    Like

  6.  Avatar
    Anonymous

    terimakasih karyanya, oretan tangan litha sangat menginspirasi, di balik kehidupan yang buram sudah di siapkan rewardsnya masing²

    Like

  7.  Avatar
    Anonymous

    Terimakasih karyanya, oretan tangan litha ini sangat menyadarkan bahwa di dalam kehidupan yang buram sudah di siapkan rewards yang Tidak bisa di tebak,

    Like

  8.  Avatar
    Anonymous

    hidup seseorang tidak lah selamanya indahh, ada yg senang dengan dunia ada yg riuh pikiran karena dunia yg tidak seindah yg di kira.

    suka banget sama ceritanya🥺💜💜

    Like

  9.  Avatar
    Anonymous

    terus bertumbuh dan menumbuhkan adikk🤍

    Like

  10. Hamiyah Zuleika Avatar
    Hamiyah Zuleika

    terharu bangett:(

    Like

  11. siti23harahap Avatar
    siti23harahap

    “aku benci hidupku” tiga kata yang mudah diucapkan tapi sulit untuk di jelaskan.

    first like ku ini akan berlanjut di postingan mu yang lainn🤗
    ditunggu lanjutannyaaa

    Liked by 1 person


Temaram Nyata

halaman yang berisikan tentangku, tentangmu, tentang dunia & segala ceritanya.